Penulis:
Norma Keisya Avicenna (Pengelola
Perpustakaan DNA)
Masyarakat
Literat Indonesia Bermartabat
Secara etimologis,
istilah literasi berasal dari bahasa Latin “literatus”
yang artinya “orang yang belajar”. Literasi merupakan suatu kemampuan seseorang
untuk menggunakan potensi dan keterampilan dalam mengolah serta memahami
informasi saat melakukan aktivitas membaca dan menulis. Literasi
memiliki fungsi penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan
mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat dan bermartabat.
Sebagai negara
berkembang, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai
prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi,
mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Enam literasi dasar
mencakup literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi
digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. World Economic Forum pada tahun 2015
menyebutkan bahwa enam literasi dasar tersebut sangat penting untuk dikuasai
oleh masyarakat, dari anak-anak sampai orang dewasa.
Tantangan saat ini di era
digital adalah menariknya kegiatan belajar yang “dikalahkan oleh” menariknya
hiburan dunia digital. Karena itu, perlu inovasi-inovasi kekinian untuk
membudayakan literasi khususnya di kalangan anak-anak dan lebih luas lagi di
lingkungan masyarakat. Menumbuhkan minat
literasi baca-tulis pada anak-anak
memberikan manfaat dan pengaruh yang sangat besar. Dengan literasi baca-tulis,
wawasan dan pengetahuan akan bertambah, meningkatkan daya kreativitas, dan
mengembangkan keterampilan hidup.
Transportasi
Literasi itu Bernama Perpustakaan
Perpustakaan menjadi salah satu alternatif
tempat belajar yang menunjang untuk menumbuhkan budaya literasi baca-tulis.
Menurut saya, perpustakaan yang ideal adalah sebuah perpustakaan yang mampu
memberdayakan masyarakat, mampu melakukan revolusi minat baca pada masyarakat,
dan mampu mengubah karakter masyarakat dari tidak suka membaca menjadi suka
membaca. Perpustakaan juga seharusnya mampu
mengubah masyarakat
tuna informasi menjadi masyarakat yang berliterasi atau melek informasi.
Perpustakaan
mempunyai peranan yang sangat vital bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Pertama, perpustakaan berfungsi sebagai jantung pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Kedua, sebagai pusat pengumpulan dan penyimpanan sumber
pengetahuan dan informasi. Ketiga, sebagai pusat kegiatan masyarakat setempat. Perpustakaan
juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam mempengaruhi tingkat taraf
hidup masyarakat. Perpustakaan harus dapat berfungsi sebagai wahana belajar
yang mampu mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang berilmu,
cakap, kreatif, inovatif dan mandiri.
Bangsa yang literate adalah
bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Peradaban yang berliterasi selalu
ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan. Perpustakaan
selalu menjadi transportasi
literasi ketika suatu peradaban mencapai puncak
keemasan. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang
peradaban manusia tidak dapat lepas dari perpustakaan.
Inkubator Literasi ala
Perpustakaan DNA
Saya
seorang ibu rumah tangga sekaligus penulis. Tidak sekadar ‘menjadi’ penulis, namun
saya juga bertekad ‘menjadikan’ orang lain penulis (melahirkan
generasi-generasi penulis cilik), maka terbentuklah komunitas penulis cilik
“DNA Writing Club”. Saya awali semuanya dengan mendirikan Perpustakaan DNA di
rumah. Berawal dari koleksi pribadi yang jumlahnya ratusan kemudian terus
bertambah juga menyiapkan beragam kegiatan.
Perpustakaan
DNA didirikan sejak November 2013. Bertempat di Jalan Jati Barat I No.274,
Banyumanik, Semarang. Dalam kegiatannya, selain melayani sirkulasi peminjaman
buku, juga ada beberapa kegiatan kreatif untuk menumbuhkan budaya literasi
baca-tulis di lingkungan masyarakat. Pengelola Perpustakaan DNA saat ini
berjumlah 4 orang. Kami menyebut pengelola perpustakaan dengan istilah
‘mentor’.
|
|
Gambar
1. Sebagian koleksi Perpustakaan DNA
|
|
Salah
satu hal yang menjadi fokus kami di Perpustakaan DNA saat ini adalah sosialisasi sekaligus pelaksanaan perjenjangan buku, baik saat pelayanan
kegiatan membaca di perpustakaan maupun saat peminjaman buku. Perjenjangan buku
ini sesuai dengan Panduan Perjenjangan Buku Nonteks Pelajaran bagi Penggunaan
Perbukuan yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Panduan perjenjangan buku ini sangat membantu
petugas perpustakaan maupun pegiat literasi dalam penyusunan daftar buku yang
direkomendasikan untuk dibaca oleh pembaca sasaran. Selain itu, perjenjangan
buku dapat membantu menumbuhkembangkan budaya literasi melalui buku yang
bermutu serta tepat guna untuk memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan
karena mempertimbangkan aspek pedagogik dan psikologis pembaca. 1)
Penyediaan
buku di Perpustakaan DNA diharapkan dapat membantu terlaksananya proses
perjenjangan buku tersebut. Misalnya, untuk kategori pra-membaca untuk
anak-anak usia dini, buku yang disediakan di Perpustakaan DNA seperti : boardbook, flip-flap book, buku kain
(untuk bayi dan balita), pop-up book,
dll. Selain itu, untuk kategori membaca dini disediakan aneka jenis pictorial book (buku bergambar dengan
bahasa sederhana dan
ilustrasi yang sangat menarik).
1) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2018. Panduan Perjenjangan
Buku Nonteks Pelajaran bagi Pengguna Perbukuan. Jakarta : Pusat Kurikulum
dan Perbukuan.
Gambar 2. Perjenjangan Buku Nonteks Pelajaran
Koleksi
buku di Perpustakaan DNA harus dapat mengembangkan karakter positif
serta terbebas dari materi yang bersifat
pornografi, kekerasan,
ungkapan kebencian dalam berbagai bentuk, dan penistaan suku, adat, ras, serta agama (SARA). Hal
ini sejalan dengan UU RI No.3 Tahun 2017 tentang
Sistem Perbukuan, yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan sistem perbukuan berazaskan
kebhinekaan, kebangsaan, kebersamaan, profesionalisme, keterpaduan, kenusantaraan, keadilan, partisipasi
masyarakat, kegotongroyongan, dan kebebasbiasan.
Kesalahan dalam memilih
buku yang tidak sesuai dengan jenjang kemampuan
membaca akan membuat
pembaca, terutama anak-anak, tidak mencapai tujuan membaca yang diharapkan. Dengan demikian, diperlukan perjenjangan buku guna memilih buku yang bermutu dan sesuai
dengan perkembangan kemampuan baca serta
kebutuhan pengembangan literasi.
Para pengguna perpustakaan DNA dapat memilih dan memilah buku secara tepat, efektif, dan bermakna sesuai dengan
tingkat perkembangan usia, kemampuan baca,
dan kebutuhan pembaca.
Pendidikan adalah proses pengembangan kapasitas untuk tumbuh secara terus-menerus dan merekonstruksi pengalaman menjadi
lebih bermakna.2) Sumber pengalaman antara lain terdapat dalam buku teks pelajaran
dan buku nonteks pelajaran. Membaca buku sebagai
bagian dari pembelajaran harus dapat dijadikan sebagai pengalaman lebih bermakna.
2) Dewey, John. 2001. Democracy and Education. Pennsylvania: Pennsylvania State University.
Selain
melakukan perjenjangan buku, ada beberapa kegiatan di Perpustakaan DNA dalam
rangka menciptakan inkubator literasi, yaitu:
1.
Fun
Reading
Membaca bukanlah sekadar meningkatkan keterampilan berbahasa.
Membaca adalah sebuah proses pembaruan pikiran, di mana seseorang akan menerima
suatu hal yang dapat membantu terbentuknya sel otak baru dalam setiap
penyerapan informasi. Membaca dapat membuka mata kita akan pentingnya SDM yang unggul, mengubah pikiran kita menjadi
lebih luas lagi, memiliki sumber informasi agar
tidak terbawa arus negatif globalisasi. Membaca dapat mempengaruhi kualitas
suatu bangsa.
Kegiatan “Fun Reading” di Perpustakaan DNA meliputi:
1) Read A Load
(membacakan buku dengan suara nyaring)
Mentor akan memilihkan buku sesuai usia anak, seperti picture book, cerpen atau dongeng, lalu
menyampaikan isi buku/teks, kata demi kata dengan intonasi yang menarik dan
penuh ekspresi.
2.) Story
Telling (mendongeng)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar
3. Aktivitas Story Telling di
Perpustakaan DNA
|
|
Mentor akan menuturkan cerita secara menarik dan
interaktif, bisa dengan alat peraga (boneka, wayang kertas, dll), maupun tanpa
alat peraga. Anak-anak yang biasa didongengi akan cenderung terampil bercerita
dan berbicara, juga lebih percaya diri dalam menyampaikan ide dan pendapatnya.
Kegiatan mendongeng juga sangat bermanfaat untuk menanamkan karakter positif
pada anak melalui cerita-cerita sederhana namun penuh makna.
2.
Mendirikan komunitas
penulis cilik: DNA Writing Club
DNA Writing Club didirikan dengan berbekal tiga buah
cita-cita yang diharapkan ada
dalam diri anak-anak yang bergabung dalam komunitas yang memiliki motto “Creative writer wanna be…”, yakni :
a.
Meningkatkan
rasa percaya
diri
b.
Memotivasi untuk lebih berprestasi dan cinta ilmu.
c.
Meningkatkan semangat agar gemar membaca, bercerita, dan berkarya (menulis).
Gambar 4. Logo DNA
DNA singkatan dari Dream ‘N Action, dimana
dalam komunitas ini anak-anak diajak untuk berani bermimpi setinggi langit
sekaligus beraksi secara nyata untuk mewujudkan impian-impian tersebut, terutama
impian di dunia literasi.
Ada beberapa kegiatan menarik di DNA
Writing Club yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca sekaligus mengasah
keterampilan menulis, diantaranya:
Fun Writing
Menulis adalah
cara terbaik bagi anak-anak untuk mempelajari hal-hal baru dan mengingatnya.
Anak-anak yang belajar menulis cerita sejak dini akan mampu belajar dengan
mudah, efektif, berpikir secara sistematis, dan lebih percaya diri.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar
5. Aktivitas Fun Writing di Perpustakaan
DNA
|
|
Menurut Ary Nilandari,
menulis dapat membantu anak mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Anak-anak yang terbiasa menulis sejak dini, akan terbiasa membaca kehidupan di
sekelilingnya. Mereka belajar tentang perspektif atau sudut pandang. Menulis juga membantu perkembangan emosional
anak. Jika anak-anak mampu menuliskan apa yang berkecamuk dalam benak mereka,
permasalahan yang mereka hadapi dapat diformulasikan sehingga akan lebih mudah ditangani.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 6. One Day
Motivation Training bersama Kak Ary Nilandari dan Launching Buku Antologi
Perdana DNA Writing Club “Dongeng Nyentrik Alesha”
|
|
Beberapa kegiatan fun
writing yang dilakukan oleh DNA Writing Club:
a. Menulis
dengan teknik free writing.
b. Menulis
dengan mengoptimalkan panca indra.
c.
Menulis dengan mengenal dan mengasah emosi
d.
Menulis dengan metode mind mapping (peta
pikiran)
e.
Pengenalan 5 tahap menulis: Pre Writing, Drafting, Editing, Revising, dan Publishing.
f.
Berkreasi membuat origami berkisah, creative journaling, scrapbook, mading,
dll.
Figure
2 Mading karya anak-anak DNA
Gambar 7. Mading DNA
Fun Playing
·
Bermain
Ular Tangga Raksasa DNA
Salah
satu kegiatan yang menarik untuk anak-anak adalah bermain ular tangga raksasa
berukuran 3mx3m, lengkap dengan sebuah dadu raksasa. Anak-anak yang menjadi
pion pemainnya. Ada 64 kotak yang harus mereka lalui untuk sampai goal
terakhir. Ada beberapa tantangan dan pertanyaan yang bisa membuat permainan ini menjadi lebih
seru. Sebelumnya mentor akan menjelaskan terlebih dahulu makna yang tertulis
maupun gambar yang ada di masing-masing kotak tersebut. Jadi anak-anak bisa
melakukan aktivitas bermain yang di dalamnya ada kegiatan pembelajaran tentang literasi.
Selain ular tangga raksasa, di Perpustakaan DNA juga ada permainan Engklek
Persahabatan. Selain mengasah motorik kasar, belajar bersosialisasi dengan
teman sebaya, permainan ini sebagai sarana melestarikan permainan tradisional.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar
8. Desain ular tangga DNA (kiri). Anak-anak bermain ular tangga DNA juga
engklek persahabatan saat tim kreatif DNA mengisi kegiatan literasi di
sekolah (kanan)
|
|
•
Role Playing (Bermain Peran)
Kegiatan fun playing yang lain yaitu role playing. Role playing merupakan
kegiatan di mana anak-anak akan memainkan peran
tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama. Bagi anak-anak yang memainkan peran
sebagai orang lain, maka ia dapat menempatkan dirinya sendiri seperti watak dari
karakter yang dimainkan itu. Kegiatan ini dapat menjadi sarana
mengenal jenis karakter tokoh, mendalami berbagai ekspresi emosi, mengasah
kemampuan verbal, mengasah empati dan meningkatkan rasa percaya diri.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 9. Role
Playing bersama DNA, bermain boardgame dan
menulis puisi
dengan metode mind mapping
|
|
Semesta
Karya Sejak Usia Belia
Saat ini, dunia penulisan buku di Indonesia tidak lagi
didominasi oleh orang dewasa. Anak-anak pun banyak yang telah menjadi penulis
dengan karya-karyanya yang best seller. Anak-anak DNA pun telah
berhasil membuktikannya.
Cerpen Khansa yang berjudul “Gedung Seribu Pintu” lolos seleksi tingkat nasional dan
diterbitkan oleh KKPK Dar!Mizan. Cerpen ini ditulis berdasarkan pengalaman
pribadinya saat mengunjungi cagar budaya yang menjadi icon Kota Semarang yaitu “Lawang Sewu. Cerpen Zaskia yang berjudul “Andri di Tengah Kandri” yang
mengisahkan legenda Goa Kreo, salah satu obyek wisata dan kearifan lokal
Semarang, mampu mengantarkan Zaskia terbang ke Jakarta untuk mengikuti
serangkaian kegiatan Festival Literasi Sekolah (FLS) 2018 sekaligus menjadi
finalis Lomba Menulis Cerpen tingkat nasional.
Gambar 10. Khansa dan
Zaskia berprestasi di dunia literasi, bermula dari kegemarannya membaca lalu
mengasah kemampuan mereka menulis cerita di DNA
Selain Khansa dan Zaskia, ada beberapa anggota DNA yang
telah sukses menjadi penulis cilik dan produktif dalam menerbitkan buku. Judul-judul
istimewa seperti Gobag Sodor Pemersatu,
Poliotivasi Om Ardi, Muscular Dystrophy, Buku-Buku Rekondisi, dll, mampu mengantarkan anak-anak ini
menjuarai kompetisi penulisan hingga tingkat nasional. Luar biasa sekali!
Anak-anak itu mampu menulis sesuatu yang dapat menggerakkan pembaca untuk
berubah menjadi lebih baik. 3)
3) Rien DJ. 2015. Nulis itu Gampang. Surakarta : Indiva Media Kreasi
Gambar 11. Beberapa karya anak-anak DNA.
Dari aktivitas membaca karya teman-teman yang ada di
Perpustakaan DNA, mereka pun tergerak untuk berkarya lewat menulis cerita
dan diterbitkan jadi buku.
|
|
Penanaman budaya literasi baca-tulis
yang senantiasa diupayakan melalui beragam kegiatan di Perpustakaan DNA juga menjadi
salah satu alternatif cara menghindarkan ketergantungan anak-anak terhadap
gawai. Dengan semakin banyak bahan bacaan yang variatif dan menarik (yang
disesuaikan dengan perjenjangan usia), membuat anak-anak akan semakin kaya
kosakata dan ide-ide yang dapat dituangkannya dalam komunikasi lisan dan
tulisan.
Akhirnya, sebagai
pengelola perpustakaan sekaligus pegiat literasi, kita harus menciptakan suatu
kondisi dimana aktivitas membaca bukan hanya sekadar sebuah kewajiban, tetapi
secara bertahap menjadikannya sebagai budaya dan hobi. Jika literasi baca telah
kuat, maka tahap berikutnya yaitu literasi tulis tidak terlalu berat untuk
diwujudkan. Walaupun orang yang rajin membaca tidak selalu identik dengan pandai menulis, tetapi setidaknya telah memiliki
modal awal yang potensial.
Generasi yang kuat dalam
literasi baca-tulis akan menjelma menjadi pendorong untuk lahirnya generasi
yang memiliki kecakapan abad 21.
Semoga Perpustakaan DNA bisa menjadi salah satu inkubator literasi yang mampu
melahirkan SDM yang unggul dan berkualitas menuju Indonesia maju. Mari bersama,
bersinergi membahagiakan sesama dengan ‘meliteratkan’ satu sama lain! Salam Literasi!